Senin, 11 Mei 2009

Kepemilikan dan Implikasinya Terhadap Perekonomian

A. Kepemilikan Dalam Ekonomi Konvensional
Sistem Ekonomi Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalis yang di bangun berdasarkan filsafat yunani yang rasional sekuler, ditandai dengan pengutamaan kepentingn pemilikan pribadi, materialisme, rasionalisme, liberalisme, sekularisme, ekonomi pasar, kompetisi dan lain sebagainya. Ternyata sistem ini telah banyak menghasilkan kemakmuran ekonomi sebagian masyarakat, tetapi pada saat yang sama meninggalkan berbagai persoalan besar yang belum dapat dipecahkan seperti degradasi lingkungan, dekadensi moral, ketimpangan pendapatan, ketimpangan pemilikan, hedonisme, pemborosan dan sebagainya.



Kapitalisme lahir dari paham yang menganggap kemakmuran masyarakat hanya timbul jika kegiatan produksi diserahkan pada individu. Tokoh dibalik ini adalah Adam Smith, John Maynard Keynes, Alfred Marshal, Milton Fridman, dan sampai pada Gunnar Myrdal dan lain sebagainya. Menurut ideologi ini untuk mendapatkan kemakmuran masyarakat, bebaskan individu memiliki faktor produksi, pengolahnya dan memanfaatkannya untuk kepentingannya yang dilaksanakanya secara rasional dan pertimbangan ekonomis. Dengan demikian masyarakat akan dapat menikmati kemajuan sikapitalis tadi melalui kegiatan produksi yang dihasilkannya, konsumsinya, serta kesempatan kerja yang ditimbulkannya. Dengan demikian pendapatan masyarakat meningkat, tabungan bertambah, dan akhirnya investasi bertambah. Kondisi ini akan menimbulkian “multiplier effect” yang akhirnya memakmurkan masyarakat. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian .

M. Umer Chapra menjelaskan ciri utama sistem ekonomi kapitalis yakni:
• Menganggap ekspansi kekayaan yang dipercepat, produksi maksimum dan pemuasan “keinginan” sesuai prefensi individu sebagai sesuatu yang sangat penting untuk kesejahteraan manusia.
• Ia menganggap kebebasan individu tanpa batas untuk mencari kekayaan pribadi (private property) sebagai sebuah keharusan bagi inisiatif individu.
• Ia mengasumsikan inisiatif individu bersama dengan pengambilan keputusan yang terdesentralisasi dalam operasi pasar bebas sebagai syarat yang mencukupi untuk mewujudkan efisiensi optimum pengalokasian sumber daya.
• Ia tidak mengakui perlunya peranan penting pemerintah atau pertimbangan-pertimbangan nilai kolektf baik dalam efisiensi alokasi maupun keadilan distribusi.
• Ia mengklaim bahwa pemenuhan kepentingan pribadi oleh semua individu juga akan secara otomatis memenuhi kepentingan sosial bersama .
Taheri (2001) menjelaskan ciri-ciri ekonomi kepitalis sebagai berikut :
a. Pengakuan dan pemberian hak kekayaan pada pribadi.
b. Pemberian kedaulatan kepada pribadi.
c. Pengakuan pada preferensi memuaskan kepeningan pribadi.
d. Keputusan diserahkan sepenuhnya kepada hasil pemikiran manusia (rasionality).
e. Alokasi sumber kekayaan diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan atau mekanisme pasar.
Beberapa prinsip ekonomi kapitalis lainnya diantaranya:
1. Pelaku utama ekonomi adalah pemilik modal.
2. Cara hidup bebas atau liberal, pribadi harus dibebaskan melakukan apa maunya.
3. Sasaran hidup hanya materi.
4. Cara berfikir semata-mata “rasional”.
5. Pengambilan keputusan adalah sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat atau dikenal dengan demokrasi yang pada akhirnya dikuasai oleh segelintir elite.
6. Penggerak kegiatan ekonomi adalah didorong dengan pola tuntutan yang tinggi.
7. Distribusi kebutuhan dilakukan melalui mekanisme pasar.
8. Tujuan akhir hanya dunia tidak ada hari kemudian (kiamat).
9. Tidak mempercayai yang ghaib yaitu tuhan, malaikat, syetan dan lain-lain.
10. Bebas nilai, tidak ada norma etika.
Paham ekonomi kapitalis menimbulakan sikap materialis yang dapat menimbulakan dampak negatif diantaranya:
~ Jurang pemisah (gap) antara sikaya dan simiskin semakin melebar.
~ Karena terlalu mengejar pertumbuhan maka menimbulakan kerusakan lingkungan.
~ Meningkatkan kriminalitas.
~ Meningkatkan praktek korupsi, kolusi dan penipuan tingkat tinggi lainnya .
Sistem Ekonomi Sosialis
Lain kapitalis, lain pula sosialis. Jiwa peraturan sosialisme bertolak belakang dengan kapitalisme. Jiwa peraturan sosialisme bersikap buruk sangka terhadap individu. Kaum sosialis merampas segala hak pribadi demi mencapai kemaslahatan bersama di atas kemaslahatan individu”.
Mengakui hak milik pribadi bagi kaum sosialis merupakan kezaliman dan penyimpangan sehingga harus dihapus. Segala usaha yang mengarah kepada pengakuan hak milik pribadi harus dimusnahkan, walaupun dengan jalan kekerasan dan membangkitkan dengki. Satu prinsip penting yang harus diwujudkan adalah ”sama rata dan sama rasa”. Dalam mencapai tujuan, paham sosialis bersandar pada kekuasaan, tepatnya kekuasaan negara dan kediktatoran pemimpin. Negara menurut paham sosialis merupakan penggerak dan kompas bagi perekonomian rakyat.. individu, sama sekali tidak berperan dan tidak mempunyai andil dalam investasi harta negara. Tugas rakyat hanya satu yaitu sebagai abdi negara, melaksanan tugas dari penguasa.
Sistem kapitalis memberiakan fasilitas kepada individu sehingga menjadi besar dan bertindak sewenang-wenang tanpa mementingkan kemaslahatan masyarakat, baik materi maupun spiritualnya. Sebaliknya, paham sosialis menutup semua yang diberikan oleh paham kapitalis kepada individu sehingga merasa rendah, dan kehilangan kepribadiannya dan mempersembahkannya kepada masyarakat yang tertumpu kepada negara. Negara tidak lebih dari suatu tempat yang dikelola oleh segelintir manusia yaitu pejabat negara yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat sebagaimana para konglomerat dalam sistem kapitalis berlaku sewenang-wenang.

B. Prinsip-Prinsip Kepemilikan Dalam Islam
Terdapat beberapa yang membatasi perjalanan dan sikap setiap orang Islam terhadap harta yang dimilikinya. Prinsip ini berkaitan dengan sikap dan kelakuan yang dihayati oleh setiap orang Islam dengan berpandukan ilham dari pada kepercayaan dan keimanannya kepada Allah Yang Maha Mengawasinya, yaitu tuhan pencipta harta dan yang memberi amanah kepadanya menyimpan, melantiknya sebagai wakil untuk mengurus amanah tersebut. Berikut delapan prinsip-prinsip mengenai kepemilikan dalam Islam:
Prinsip pertama
Ikatan tehadap kebebasan pihak pemilik harta dengan mengenakan kewajiban supaya melaburkan hartanya dan mengembangkannya. Karena sikap mengenhentikan peleburan itu dapat menyebabkan kemiskinan pemiliknya dan seterusnya mengakibatkan kemiskinan.
Prinsip kedua
Dengan cara mengikat pihak pemilik harta itu dengan melalui paksaan supaya ia membayar zakat daripada hartanya apabila harta itu sudah cukup kadar nisab zakatnya.
Prinsip ketiga
Dengan cara membatasi kebebasan pemilik harta dengan memberi perintah agar pemilik harta tersebut memberi sumbangan (Infaq) di jalan Allah (Fisabilillah) mengikut kadar yang dapat memenuhi tuntutan dan keperluan masyarakat.
Prinsip keempat
Setiap pemilik harta diperintahkan supaya penggunaan hartanya itu tidak menjadi puncak bencana kepada orang lain ataupun kepada seluruh masyarakat. Berarti siapa saja yang menyalahgunakan haknya dengan cara menimbulkan bahaya dan bencana kepada orang lain, maka hendaklah dilarang daripada melakukan perbuatan tersebut karena bahyanya dapat melibatkan musibah yang besar.
Prinsip kelima
Kewajiban atau prinsip ini memberi isyarat tentang kebebasan setiap pemilik harta dengan melarang daripada melabur atau mengembangkan hartanya melalui jalan yang haram seperti yang dilakukan dengan cara riba, menipu ataupun monopoli.
Prinsip keenam
Membatasi kebebasan pemilik harta dengan cara memaksanya supaya tidak melakukan pembaziran dalam urusan dan tindakannya. Dengan kata lain, membatasi kebebasan pemilik harta dalam melakukan tindakan terhadap hartanya, yaitu harta dalam bentuk modal ataupun pendapatan yang berpuncak daripada modal itu. Dengan demikian, diharamkan bersikap bakhil, boros dan pemubaziran harta.
Prinsip ketujuh
Membatasi kebebasan pemilik harta dengan cara memaksanya berhenti menggunkan hartanya dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu pengaruh, khususnya kuasa politik.
Prinsip kedelapan
Membatasi kebebasan pemilik harta supaya tidak melanggar ketentuan hukum syara’ tentang pusaka dan wasiat.

C. Klasifikasi Hak Milik
1. Kepemilikan Individu (Private Property
Hak milik individu adalah hak syara’ untuk seseorang, sehingga orang tersebut boleh memiliki kekayaan yang bergerak maupun kekayaan tetap. Adalah fitrah manusia, jika dia terdorong untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu juga merupakan fitrah, jika manusia berusaha memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, serta berusaha untuk bekerja agar bisa memperoleh kekayaan tadi. Sebab, keharusan manusia untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu kemestian, yang tidak mungkin dipisahkan dari dirinya. Maka, usaha manusia untuk memperoleh kekayaan, disamping merupakan masalah yang fitri, hal itu juga merupakan suatu keharusan.
Akan tetapi, dalam memperoleh kekayaan tersebut tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya.
Islam hadir dengan membolehkan kepemilikan individu serta membatasi kepemilikan tersebut dengan mekanisme tertentu, bukan dengan cara pemberangusan (perampasan). Sehingga dengan begitu, cara (mekanisme) tersebut sesuai dengan fitrah manusia serta mampu mengatur hubungan-hubungan antarpersonal di antara mereka. Islam juga telah menjamin manusia agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara menyeluruh.
Adapun pembatasan kepemilikan dengan menggunakan mekanisme tertentu itu nampak pada beberapa hal berikut ini:
- Dengan cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi hak milik.
- Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.
- Dengan cara menyerahkan tanah kharajiyah sebagai milik negara, bukan sebagai hak milik individu.
- Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
- Dengan cara men-supply orang yang memiliki ketebatasan faktor produksi, sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
2. Kepemilikan Umum (Collective Property)
Kepemilikan umum adalah izin as-syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk katagori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh as-syari’ bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas, dimana mereka masing-masing saling membutuhkan, dan as-syari’ melarang benda tesebut dikuasai oleh hanya seorang saja.
Benda-benda tampak pada tiga macam, yaitu:
a. Yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
b. Bahan tambang yang tidak terbatas.
c. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw. Telah menjelaskan dalam sebuah hadits, dari segi sifat fasilitas umum tersebut, bukan dari segi jumlahnya. Dari ibnu abbas, bahwa nabi saw. Berabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang dan api.” (H.R. Abu Daud).
Anas meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan: wa tsamanuhu haram (dan harganya haram). Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. Bersabda:
“Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun) yaitu air, padang dan api.”
Oleh karena itu jelas, bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas apa pun komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu negeri, maka komunitas tersebut akan bersengketa dalam rangka mendapatkannya. Oleh karena itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum. Contohnya, sumber-sumber air, kayu-kayu bakar, padang gembalaan hewan, dan sebagainya.
Adapun bahan tambang yang tidak tebatas jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw. Untuk mengelola tambang garamnya. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau beriakan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah kemudian bersabda: “Tarikalah tambang tersebut darinya.”
Benda-benda yang merupakan milik umum ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, selolah milik negara, rumah sakit negar, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya.
3. Kepemilikan Negara (State Property)
Milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi pandangannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah, adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya. Inilah kepemilikan. Karena makna kepemilikan adalah, maka tiap hak milik yang pengelolaannya tergantung pada pandangan dan ijtihad khalifah, maka hak milik tersebut dianggap sebagai hak milik negara. Zakat tidak termasuk hak milik negara, melainkan milik ashnaf delapan yang telah ditentukan oleh syara’. Baitul mal hanya menjadi tempat penampungannya, sehingga bisa dikelola mengikuti obyek-obyeknya.
Bahwa, meski negara yang melakukan pengelolaan hak milik umum serta hak milik negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk hak milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan oleh negara kepada orang-orang untuk mengambilnya, melalui pengelolaan yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara. Sebab negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu, sementara yang lain tidak, dimana negara juga berhak mencegah dari individu, apabila negara memiliki pandangan demikian dalam rangka melayani urusan mereka, di satu sisi, tanpa memberikan harta tersebut kepada mereka. Kharaj misalnya, boleh diberikan oleh para petani saja, dan bukannya oleh yang lain, dalam rangka menyelesaikan masalah pertanian.
Nasionalisasi merupakan penambalan-penambalan sistem kapitalis, yaitu memindahkan hak milik individu menjadi hak milik negara. Apabila negara melihat, bahwa disana terdapat kemaslahatan umum yang mengharuskan untuk memiliki harta yang dimiliki secara pribadi. Negara tidak memaksakan nasionalisasi, namun negara memberikan pilihan. Apabila negara berkeinginan, maka bisa saja menasionalisasikan, namun bisa juga sebaliknya membiarkan harta tersebut tanpa dinasionalisasikan.
D. Sebab-Sebab Kepemilikan
Pemilikan atas harta memiliki sebab-sebab syar’i yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dengan suatu sebab tertentu, yang tidak boleh melampaui batasan sebab-sebab tersebut. Sehingga, sebab pemilikan harta itu telah dibatasi dengan batasan yang telah dijelaskan oleh syara’. Yang dimaksud dengan sebab pemilikan harta disini adalah sebab yang menjadikan seseorang memiliki harta tersebut, yang sebelumnya tidak menjadi hak miliknya. Sebab-sebab kepemilikan harta berbeda dengan sebab-sebab pengembangan kepemilikan yakni memperbanyak kuantitas harta yang sebelumnya sudah menjadi hak miliknya. Dimana status harta tersebut memang sudah ada, hanya kemudian dikembangkan dan diperbanyak kuantitasnya. Diantaranya sebab-sebab kepemilikan yakni:
1. Bekerja
Kata “kerja” wujudnya sangat luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya pun beragam, serta hasilnya pun berbeda-beda, maka Allah swt. tidak membiarkan “kerja” tersebut secara mutlak. Allah swt. juga tidak menetapkan “kerja” tersebut dengan bentuk yang sangat umum. Akan tetapi Allah swt. telah menetapkannya dalam bentuk kerja-kerja tertentu. Kemudian dalam menetapkannya, Allah swt. menjelaskan kerja-kerja tersebut, berikut jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebagai sebab kepemilikan.
Bentuk-bentuk kerja yang disyariatkan, sekaligus bisa dijadikan sebagai sebab pemilikan harta adalah kerja-kerja sebagai berikut:
a. Menghidupkan Tanah Mati
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan tidak dimanfaatkan oleh satu orang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkannya adalah mengolahnya dengan menanaminya, baik dengan tanaman maupun pepohonan, atau dengan mendirikan bangunan di atasnya. Dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya. Nabi saw bersabda: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah (mati yang telah dihidupkan) tersebut adalah miliknya.” (HR. Imam Bukhari dari Umar Bin Khaththab).
Ketentuan ini berlaku umum, mencakup semua bentuk tanah; baik tanah darul Islam, ataupun tanah darul kufur; baik tanah tersebut berstatus usyriyah ataupun kharajiyah. Agar menjadi hak miliknya, tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan mengintensifikasikannya. Apabila tanah tersebut belum pernah dikelola selama tiga tahun berturut-turut, maka hak pemilikan orang yang bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang.
b. Menggali Kandungan Bumi
Yang termasuk katagori bekerja adalah menggali apa tekandung di dalam perut bumi, yang bukan merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama’ah), atau dibebut rikaz. Adapun jika harta temuan hasil penggalian tersebut merupakan hak seluruh kaum Muslimin, maka harta galian tersebut merupakan hak milik umum (collective property). Apabila harta tersebut asli, namun tidak dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama’ah), semisal ada seorang pemukul batu yang berhasil menggali batu bangunan dari sana, ataupun yang lain, maka harta tersebut tidak termasuk rikaz, juga tidak termasuk hak milik umum (collective property), melainkan termasuk hak milik individu (private property).
c. Berburu
Berburu ikan, mutiara, batu pemata, bunga karang serta harta yang dipeloleh dari hasil buruan laut lainnya, maka harta tersebut adalah hak milik orang yang memburunya, sebagaimana yang berlaku dalam perburuan burung dan hewan-hewan yang lain. Demikian harta yang dipeloleh dari hasil buruan darat, maka harta tersebut adalah milik orang yang memburunya. Allah swt. berfirman:
Dihalalkan bagimu, binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. (Q.S. Al-Maidah: 96)
d. Makelar
Simsar (pialang) adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan (menunjukkan) orang lain. Makelar (samsarah) termasuk dalam katagori bekerja yang bisa dipergunakan untuk memiliki harta, secara sah menurut syara’.
e. Mudlarabah
Mudlarabah adalah perseroan antara dua orang dalam suatu perdagangan. Dimana, modal (investasi) finansial dari satu pihak, sedangkan pihak lain memberikan tenaga (amal). Dalam sistem mudlarabah, pihak pengelola memiliki bagian pada harta pihak lain karena kerja yang dilakukannya. Sebab, mudlarabah bagi pihak pengelola termasuk dalam katagori bekerja serta merupakan salah satu sebab kepemilikan. Akan tetapi, mudlarabah bagi pihak pemilik modal (investor) tidak termasuk dalam katagori sebab kepemilikan, melainkan merupakan salah satu sebab pengembangan kekayaan.
f. Musaqat
Yaitu pembayaran dari hasil panen pohon milik seseorang kepada orang lain, agar orang yang bersangkutan menyiraminya. Kerja yang dibutuhkan—oleh pihak pemilik tanaman atau pepohonan—ini kemudian diberi kompensasi tertentu dari hasil panen pimilik tanaman. Musaqat termasuk dalam katagori bekerja yang telah dinyatakan kebolehannya oleh syara’.
g. Ijarah
Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang tersebut. Ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang ajiir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh seorang ajir. Sementara ajiir adakalanya bekerja untuk seseorang dalam jangka waktu tertentu, seperti orang yang bekerja di laboratorium, kebun, atau ladang seseorang dengan honorarium tertentu, atau seperti pegawai negeri di tiap instansi.
2. Waris
Yang termasuk dalam katagori sebab-sebab pemilikan harta adalah waris. Waris adalah salah satu sarana untuk membagikan kekeyaan Dimana dalailnya telah ditetapkan berdasarkan nash Al-Qur’an yang qath’i. waris ini mempunyai hukum-hukum tertentu yang tauqifi dan tidak disertai dengan illat. Nash tersebut, meski telah menyatakan juz’iat (bentuk-bentuk serpihan), akan tetapi juz’iyat ini hanyalah berupa garis-garis besar. Ketika Allah swt. menyatakan:
“Dan Allah swt. mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak wanita; dan jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (Q.s. An-Nisa’:11)
Waris adalah salah satu sebab pemilikan yang disyariatkan. Oleh karena itu, siapa saja yang menerima harta waris, maka secara syar’i dia telah memilikinya. Jadi waris merupakan salah satu sebab pemilikan yang telah diizinkan oleh syariat Islam.
3. Kebutuhan Akan Harta Untuk Menyambung Hidup
Di antara sebab-sebab kepemilikan yang lain adalah adanya kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup. Sebab, hidup adalah hak setiap orang. Sehingga dia wajib untuk mendapatkan kehidupan ini sebagai haknya bukan sebagi hadiah, maupun belas kasihan. Salah satu sebab yang bisa menjamin warga negara Islam untuk mendapatkan kekuatannya, adalah dengan bekerja. Apabila dia tidak mampu bekerja, maka negara wajib untuk mengusahakan pekerjaan untuknya. Karena negara adalah “pengembala” rakyat, serta bertanggung jawab terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup rakyatnya. Rasulullah saw. Bersabda: “Imam yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) pengembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (H.R. Imam Bukhari, dari Abdullah Ibnu Umar).
4. Pemberian Harta Negara Kepada Rakyat
Yang juga termasuk dalam katagori sebab kepemilikan adalah pemberian negara kepada rakyat yang diambilkan dari harta baitul mal, dalam rangka memenuhi hajat hidup, atau memanfaatkan pemilikan mereka. Mengenai pemenuhan hajat hidup merka adalah semisal memberi mereka harta untuk menggarap tanah pertanian mereka, atau melunasi hutang-hutang mereka. Umar bin Khaththab telah membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka. Kemudian syara’ memberikan hak kepada mereka yang mempunyai hutang berupa harta zakat. Mereka akan diberi dari bagian zakat tersebut untuk melunasi hutang-hutang mereka, apabila mereka tidak mampu membayarnya. Allah swt. berfirman: “ dan orang-orang gharim.” (Q.S. at-taubah: 60). Maksudnya adalah orang-orang yang mempunyai hutang.
5. Harta Yang Diperoleh Tanpa Kompensasi Harta Atau Tenaga
Yang termasuk dalam katagori sebab kepemilikan adalah perolehan individu, sebagian mereka dari sebagian yang lain, atas sejumlah harta tertentu dengan tanpa kompensasi harta atau tenaga apa pun. Dalam hal ini mencakup lima hal:
1. Hubungan pribadi, antara sebagian orang dengan sebagian yang lain, baik—harta yang diperoleh karena—hubungn ketika masih hidup, seperti hibbah dan hadiah, ataupun sepeninggal mereka, seperti wasiat.
2. Pemilikan harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemudharatan yang menimpa seseorng, semisal diyat orang yang terbunuh dan diyat luka—karena dilukai orang.
3. Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad nikah.
4. Luqathah ( barang temuan).
5. Santunan—yang diberiakan kepada—khalifah dan orang-orang yang disamakan statusnya, yaitu sama-sama melaksanakan tugas-tugas termasuk kompensasi kerja mereka, melainkan konpensasi dari pengekangan diri mereka untuk melaksanakan tugas negara .

Daftar Pustaka

Harahap, Sofyan Syafri. 2001. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Jakarta: Pustaka Quantum.
Chapra, M. Umer. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi. Surabaya: Risalah Gusti.
Qardhawi, Dr. Yusuf. 1997. Norma Dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Al-jamal, Dr. Muhammad Abdul Mun’im. 2000. Ensiklopedia Ekonomi Islam jilid I. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
An-Nabhani, Taqyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam.
Surabaya: Risalah Gusti.

Baca juga artikel menarik ini: Harga Jual Blackberry IPhone Laptop Murah
Blackbery
Iphone
Solusi Forum Komunitas Online Indonesia Thumblr
Spesifikasi iPHONE
HiPhone, hasil Kloningan iPhone
HiPhone dan Smart Phone Cina
Solusi Forum Komunitas Online Indonesia
Produk Unggulan BlackBerry
Model Blackberry
Kontroversi Blackberry
Harga Serba Murah Jual Blackberry IPhone
Harga Serba Murah Jual Blackberry IPhone
Kecil Jadi Kawan, Besar Jadi Lawan
Mohon dukungannya yach....!!
:)

0 komentar:

Posting Komentar

 

firmahn's Profile on Ping.sg